RADAR JOGJA – Membumikan Pancasila jadi tantangan saat ini. Apalagi saat dominasi generasi Z dan milenial. Bagi warga Jogja bisa dengan menerapkan filosofi Blangkon.

Rata di depan, tapi ada mondolan di belakang. Hal ini membawa makna bahwa orang Jogja yang tinggi ilmu nya, yang tinggi keimanannya, tidak boleh memamerkannya. “Tapi harus menyimpannya di belakang, untuk dirinya sendiri,” kata anggota DPD RI dari DIJ GKR Hemas dalam sosialisasi Pancasila di kantor DPD RI perwakilan DIJ Rabu (17/3).

Hemas menambahkan, blangkon juga bermakna bahwa orang Jogja mempunyai keluhuran Budi, selalu memperlihatkan kebaikan. Bila ada kesalahan atau aib dari orang lain maka akan disimpan di belakang, tidak diumbar. Begitulah kita harus bersikap.

Selain itu, dengan Blangkon juga menyadari bahwa ajaran agama itu tidak diambil mentah-mentah tanpa diperhatikan inti sari nya. Ajaran Islam diterapkan dalam Blangkon dengan filosofi menghormati kepala. Tetapi budaya Timur Tengah dengan Sorban tentunya harus disesuaikan dengan kondisi dan budaya masyarakat lokal.

Mereka, lanjut Hemas, yang tidak memahami agama secara mendalam dan hanya mengupas kulitnya saja tentu tidak memahami hal ini. Mereka hanya berkutat pada kulit tanpa bisa memahami isi, apa lagi inti sarinya.

“Adalah tugas saya sebagai Senator untuk selalu memperhatikan rakyat, melihat semangat dan kecintaan kepada negara, dan tentu perjuangan untuk mempertahankan semangat toleransi, seperti karakter masyarakat di Jogja Istimewa,” jelas istri Gubernur DIJ Hamengku Buwono X itu.

Di Jogja, semangat Pancasila dan semangat persatuan dan kesatuan terwujud dalam Rasa tepo seliro, budaya toleransi, sopan santun, mikul dhuwur mendhem jero, dan berbagai ajaran lain. Semua ajaran ini sudah ada sejak zaman Nenek Moyang sejak sebelum Indonesia Merdeka.

Dia pun kembali mengingatkan tantangan saat ini, menghadapi masalah intoleransi dan radikalisme. Hendaknya berpegang kepada tiga hal.

Pertama, jangan pernah keluar dari Budaya Adhiluhung Jogja. Banyak budaya baru yang datang, baik dari Amerika, maupun dari Timur Tengah. “Tetapi kita tidak perlu memperlakukan mereka dengan cara yang buruk, jangan ikut menjadi kasar atau tidak sopan. Segala tindakan kita harus berdasarkan sifat luhur, budaya, dan kearifan Jogja,” ungkapnya.

Kedua, utamakan pendekatan persuasif, ajak mereka untuk berdiskusi. Semua manusia memiliki hambatan psikologis karena kepercayaannya masing-masing. Bila memberikan penjelasan secara masuk akal dan sopan, mereka akan mengerti. Banyak orang yang terpapar radikalisme sebenarnya merupakan orang yang baik, hanya saja belajar kepada guru yang salah.

Ketiga, jalur hukum selalu terbuka. Aparat kepolisian tentu dengan senang hati membantu mengatasi masalah radikalisme. Demikian juga petugas dari Kejaksaan akan segera memproses semua orang yang hendak melawan hukum. “Tindakan intoleran dan radikal adalah tindakan yang melawan hukum, jadi akan sangat mudah memprosesnya di pengadilan,” katanya. (pra)

DIJ