Lapas tidak harus identik dengan keangkeran kriminalitas. Dari tempat ini justru manusia bisa belajar arti hidup sesungguhnya. Meratapi kesalahan dan memperbaiki diri agar bisa menjadi individu yang baik dari sebelumnya.
Berbagai cara diusung untuk mereduksi niat kriminalitas. Salah satunya asimilasi yang diinisasi Lapas Kelas IIB Jogjakarta atau Lapas Cebongan. Program ini berjalan atas kerja sama dengan Yayasan BIB Jogjakarta.
Program ini mengutamakan peran aktif warga binaan. Mulai dari pertanian, perikanan, industri kuliner hingga karya seni. BIB sendiri telah menyiapkan lahan seluas 3.000 meter persegi di sisi utara Lapas Cebongan.
“Selain itu warga binaan juga mendapat upah untuk setiap pekerjaannya. Jadi sistemnya seperti pegawai yang bekerja pada perusahaan. Dapat ilmu berwirausaha, juga mendapat gaji dari pekerjaannya,” jelas Kalapas Cebongan Sleman Turyanto saat ditemui di kantor Lapas Cebongan (18/1).
Strategi ini, lanjutnya, justru lebih tepat sebagai pendampingan. Terlebih konsep ini diterapkan di luar tembok lapas, khusunya lahan pertanian. Metode pembelajaran lebih efektif, bahkan interaksi dengan petugas penyuluh lebih mudah dicerna.
“Dengan ikutnya asimilasi, harapannya saat sudah bebas warga binaan bisa mandiri. Tidak mengulang kembali kejahatannya dan lebih memilih bekerja dengan halal dan tidak merugikan orang lain,” harapnya.
Ketua Yayasan BIB Arif Budiono mengungkapkan, program ini tergolong perdana di Jogjakarta. Penerapan asimilasi ke luar tahanan belum dipandang sebagai dampak positif. Pertimbangan utama adalah faktor keamanan saat warga binaan beraktivitas di luar tembok.
Arif memandang terobosan ini justru menjadi stimulan positif bagi warga binaan. Pertama menanamkan rasa percaya akan tanggung jawab kerja. Selanjutnya memotivasi untuk terus memiliki semangat positif seusai bebas dari lapas.
“Rencana akan ada mini galeri di depan Lapas Cebongan. Untuk menampung hasil karya kreatif para warga binaan. Benar-benar seperti usaha ekonomi, meski tarafnya hanya mikro dan kecil,” ujarnya.
Mengenai sistem gaji, ia juga membenarkan. Bahkan ada penerapan sistem presensi sidik jari layaknya pekerja kantoran. Sistem ini untuk menentukan besar kecilnya gaji berdasarkan durasi kerja. Untuk saat ini warga binaan mendapat gaji Rp 5 ribu per jamnya.
Adanya lahan 3.000 meter persegi kini sudah berubah menjadi lahan pertanian. Ke depan akan ada penambahan lahan dengan memanfaatkan tanah kas desa (TKD). Setidaknya ada lahan TKD seluas satu hektare yang disewa dari pemerintah desa setempat.
“Kalau masalah lahan itu tidak jadi kendala, karena pemerintah desa responsnya juga bagus. Selain itu investor juga siap membantu warga binaan jika sudah bebas dari lapas,” katanya.
Salah satu orang tua warga binaan yang kebetulan membesuk, mendukung program itu. Pria yang tidak ingin disebut namanya ini berharap anaknya bisa belajar. Setidaknya selepas dari lapas telah memiliki kemampuan di bidang ekonomi.
“Setuju sekali, kalau berdiam diri di lapas justru bisa banyak pikiran karena tidak ada aktivitas. Menanam sayur mayur itu juga bagus karena hasilnya bisa dijual dan lebih halal,” kata pria sepuh asal Dusun Singlar, Glagaharjo, Cangkringan, Sleman, ini. (laz/mg1)