JOGJA- Menyongsong Abad Samudera Hindia untuk Kemuliaan Martabat Manusia Jogja dan Pancamulia menjadi visi serta misi Gubernur DIJ Hamengku Buwono X lima tahun ke depan. Visi dan misi itu sarat filosofi, gagasan pemikiran, dan ide-ide progresif.

Meski begitu, visi tersebut dinilai belum sejalan dengan amanat Perdais No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan, Pelantikan, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur DIJ. Khususnya pasal 13 ayat (2) hingga ayat (5).

Sesuai pasal tersebut, visi misi dan program gubernur harus berpedoman dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan perkembangan strategis. Pemprov DIJ telah memiliki RPJPD 2005-2025. Visi pembangunan DIJ pada 2025 sebagai Pusat Pendidikan, Budaya, dan Daerah Tujuan Wisata Terkemuka di Asia Tenggara dalam Lingkungan Masyarakat yang Maju, Mandiri, dan Sejahtera.

“Kami belum melihat keterkaitan antara visi dan misi itu dengan visi DIJ 2025. Bagaimana hubungan antara tema Abad Samudera Hindia dengan visi 2025,” ungkap Ketua FPAN Suharwanta saat membacakan tanggapan di depan paripurna DPRD DIJ kemarin (2/8).

Diingatkan, karena visi itu untuk gubernur periode 2017-2022, semestinya dikembangkan secara berkelanjutan. Dengan demikian, tidak terpisahkan dengan RPJPD. Apalagi pengisian jabatan gubernur memakai sistem penetapan yang menjamin kesinambungan pembangunan lima tahunan.

“Dalam dokumen visi dan misi calon gubernur periode 2017-2022, kami belum menemukan program sebagaimana diperintahkan perdais. Misi Pancamulia masih perlu langkah strategis secara terukur,” harapnya.

FPAN juga ingin visi dan misi yang sarat ide serta gagasan besar bagi kemajuan DIJ disinkronkan dengan RPJPD 2005-2025. Sebab, dokumen visi misi dan program calon gubernur itu menjadi dasar penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) dengan periode lima tahunan.

Suharwanta kembali menyinggung catatan DPRD DIJ dan rekomendasi Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Akhir Masa Jabatan (AMJ) gubernur periode 2012-2017. Isinya tentang masalah-masalah prioritas seperti kemiskinan, kesenjangan pendapatan, dan kesenjangan wilayah yang harus dapat dituntaskan lima tahun ke depan.

Tanggapan fraksi-fraksi rata-rata disampaikan oleh juru bicara yang juga menjabat pimpinan fraksi. Namun, tidak semuafraksi secara khusus mengkritisi visi gubernur yang dihubungkan dengan visi DIJ 2025. Juru bicara FPDIP Rendradi Suprihandoko, misalnya. Sosok yang pernah menjabat ketua DPRD Sleman itu mengupas fenomena klithih.

Sedangkan juru biara Fraksi Partai Gerindra Danang Wahyubroto menyoroti soal kemiskinan yang berujung ketimpangan kesejahteraan dengan rasio gini sebesar 0, 432 persen tertinggi di Indonesia. Demikian pula dengan persentase penduduk miskin yang cukup besar di atas rata-rata nasional. “Mengubah kultur masyarakat agraris menjadi masyarakat industrial adalah tema menarik yang harus dihadapi dengan sejumlah kekurangan yang dimiliki,” ucapnya.

Tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan antara warga kaya dan miskin di DIJ diakui HB X. Masalah itu ikut dikupas dalam pidato di hadapan anggota dewan. Kesenjangan itu tampak jelas berada di wilayah selatan DIJ yang meliputi Gunungkidul ( 20,83 persen), Bantul (15,89 persen) dan Kulonprogo (20,64 persen). “Lebih tinggi dibandingkan wilayah utara, Kota Jogja (8,67 persen), dan Sleman ( 9,50 persen),” katanya.

Fenomena itu, lanjut HB X, memberikan latar belakang harus memfokuskan perhatian terhadap pembangunan wilayah bagian selatan DIJ. “Untuk menyongsong Abad Samudera Hindia, meningkatkan harkat martabat warga miskin di bagian selatan DIJ,” tegas raja yang telah menjabat gubernur selama 19 tahun ini. (kus/yog/ong)

Breaking News