RENCANA Sultan Hamengku Buwono Xmengubah penyebu-tan nama, dan gelarnya sebagai raja Keraton Jogja sebagai tindak lanjut dari sabdaraja dengan melaporkan ke Kementerian Dalam Negeri, menimbulkan sejumlah reaksi
Pengamat Keistimewaan DIJ sekaligus Dosen Filsafat Mataram Universitas Widya Mataram Yo-gyakarta (UWMY) Heru Wahyu Kismoyo mengingatkan, langkah tersebut bakal berdampak se-rius terhadap kelangsungan keistimewaan DIJ. “Itu bisa dijadikan bukti telah terjadi pelanggaran paugeran adat, sekaligus syariat Islam, karena menghapus gelar khalifatullah yang telah melekat sejak Perjan-jian Giyanti 13 Februari 1755 hingga 2015 ini,” ungkap Heru.
Heru menyatakan, mengubah nama dari buwono menjadi ba-wono berarti juga mengubah Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945, Amanat 5 September 1945, UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIJ, dan keputu-san-keputusan gubernur yang pernah diterbitkan sebelumnya.Demikian pula keinginan meng-ganti penyebutan sedasa menjadi sepuluh dengan alasan sedasa maknanya kosong pada hakekat-nya sama saja. “Sepuluh dengan sedasa itu apa bedanya,” katanya.”Kalau sabdaraja itu direalisa-sikan, otomatis akan menggu-gurkan seluruh keistimewaan DIJ yang lahir karena amanat sejarah, amanat konstitusi, dan amanat leluhurnya sendiri,” la-njut pria yang sedang menyusun desertasi tentang Pemikiran HB IX di Universitas Negeri Yogya-karta (UNY) ini.
Dikatakan, bila perubahan nama buwono menjadi bawono dan penghapusan gelar khali-fatullah terjadi, maka pemerin-tah pusat dan rakyat DIJ harus menyambut gembira proses demokratisasi yang mengarah pada kesamaan hak setiap war-ga negara dengan tercabutnya UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIJ, UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistime-waan DIJ dan UU No 23 Tahun 2014 junto UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.Keadaan tersebut akan ber-beda, bila pihak Kasultanan dan Pakualaman bersedia menganti-sipasi dan tetap konsisten mem-pertahankan keistimewaan DIJ, dengan memberikan sanksi in-ternal terhadap siapa pun yang mengganggu eksistensi Kasul-tanan dan Pakualaman dalam berintegrasi dengan NKRI.
Direktur Pusat Studi Daerah Istimewa (PSDI) M. Irawan SH mengingatkan, nama dan penyebutan gelar Sultan Ha-mengku Buwono telah memi-liki kekuatan hukum. Dasarnya pasal 1 angka 4 UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIJ dan beberapa peraturan daerah istimewa (perdais) yang telah ditetapkan DPRD DIJ. “Nama Sultan Hamengku Bu-wono dan gelarnya yang panjang sebagai Sayidin Panatagama Kha-lifatullah tidak bisa begitu saja diganti, atau dihapuskan,” ingatnya.Berdasarkan sejarah, ada latar belakang yang panjang hingga raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bergelar Sultan Ha-mengku Buwono. Itu sebagai kompromi politik antara Susu-hunan Paku Buwono III, Pang-eran Mangkubumi, dan Direktur Pantai Utara VOC Nicolas Har-tingh sebelum meneken perjan-jian Giyanti. Isi perjanjian mem-bagi Kerajaan Mataram men-jadi dua, yakni Kasunanan Surakarta di bawah Susuhunan Paku Buwono III, dan Kasultanan Ngayogyakarta dipimpin Sultan Hamengku Buwono I.Sebelum perjanjian itu, Pang-eran Mangkubumi juga telah didaulat oleh rakyatnya dengan gelar Susuhunan Paku Buwono selepas Susuhunan Paku Bu-wono II yang juga kakaknya meninggal. Lantaran penobatan berlangsung di Desa Kabanaran, Mangkubumi juga disebut Sunan Kabanaran. Namun saat akan meneken perjanjian, Mangku-bumi awalnya menolak meng-gunakan gelar baru.
Belakangan putra Susuhunan Hamangkurat IV itu bersedia me-nanggalkan gelar Susuhunan dan nama Paku Buwono. “Pangeran Mangkubumi kemudian meng-gunakan gelar Sultan dan men-gubah dari Paku Buwono men-jadi Hamengku Buwono. Beliau membangun kerajaan, tempat, nama, filosofi, dan paugeran baru dengan tetap mempertahankan keaslian budaya adiluhung tanpa merusak Kasunanan Surakarta yang lebih dulu ada,” katanya. Pangeran Mangkubumi sela-njutnya bergelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Si-nuwun Kanjeng Sultan Hameng-ku Buwono Senopati Ing Nga-logo Ngabdurrahman Sayidin Panagatama Khalifatullah.Kata Khalifatullah itu yang membedakan dengan gelar raja-raja Mataram sebelum Gi-yanti, Gelar untuk Paku Buwono berhenti sampai sayidin pana-tagama.
Sedangkan Hamengku Buwono ada tambahan khalifa-tullah. “Bagaimana kalau itu dihapus, apakah tidak akan mengingkari sejarah para leluhur Keraton Jogja,” tanyanya.Pengakuan atas nama dan ge-lar kembali muncul dalam Pia-gam Kedudukan 19 Agustus 1945 yang diteken Presiden Soekarno. Piagam itu diterima Sultan Ha-mengku Buwono IX.Sebagaimana diberitakan koran ini, setelah menyampaikan sabdaraja di Bangsal Sitihinggil, HB X mengumpulkan sejumlah kerabat dekatnya dan petinggi keraton. Seorang sumber di ke-raton mengungkapkan, lima hal terkait sabdatama.Pertama, penyebutan buwono akan diubah menjadi bawono. Kedua, tidak lagi menggunakan gelar khalifatullah. Ketiga, penyebutan kaping sedasa di-ganti kaping sepuluh. Keempat, bakal mengubah perjanjian an-tara pendiri Mataram Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pema-nahan. Sedangkan kelima, HB X akan menyempurnakan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun. (pra/jko/ong)

Breaking News