PAN Mengkritisi, Gerindra Mendukung
JOGJA – Pidato Gubernur DIJ Hamengku Buwono X dalam pelantikan pimpinan DPRD DIJ hari Rabu (8/10) lalu, berbuntut. Diam-diam pimpinan dewan memasalahkan pidato gubernur yang mengkiritisi antara lain soal politik perkubuan. Saat itu, HB X menyinggung soal itu dengan berkaca dari dinamika politik yang terjadi di DPR RI. Menurut gubernur, po-litik perkubuan yang dilanggen-gkan tanpa adanya kekuatan politik ketiga sebagai penyeimbang, akan membawa potensi konflik yang laten. Paling tidak untuk lima tahun ke depan
“Politik perkubuan dalam fraksi secara langsung telah men-ghilangkan kedaulatan anggota. Keputusan DPR bukan ditentu-kan oleh anggota yang mestinya bersifat independen dan objek-tif, tapi ditentukan fraksi yang biasanya tak lepas dari subjek-tifitas personal para elite pim-pinannya,” sentil HB X.Gubernur berharap, kalaupun realitas politik dalam pengam-bilan keputusan harus bergantung pada fraksi, maka pimpinan DPRD DIJ agar mengingat kembali sumpah jabatan yang terucap. Yakni mengedepankan kepen-tingan bangsa dan negara.Dengan kesadaran seperti itu, lanjut HB X, pimpinan dewan diminta lebih menunjukan kene-garawan dengan mengedepankan keputusan atas dasar musyawarah untuk mufakat. Makna demokrasi perwakilan dan permusya-waratan tidak selayaknya saling menafikan satu sama lain antara perwakilan dan permusyawaratan.
Menyikapi itu, Wakil Ketua DPRD DIJ Arif Noor Hartanto menyesal-kan sebagian isi dari pidato orang nomor satu di Pemprov DIJ ter-sebut. Di mata Inung, sapaan akrabnya, ucapan gubernur ter-sebut dapat dibaca sebagai upaya campur tangan ke parlemen. “Nu-ansanya bisa dibaca seolah-olah sebagai intervensi ke dewan,” kritik Inung kemarin (9/10).Setelah mencermati materi pidato gubernur lebih didomi-nasi pada pandangan terkait dengan dinamika politik yang terjadi di parlemen. Sedangkan soal hubungan kemitraan an-tara gubernur dengan DPRD kurang dieksplorasi lebih dalam.”Mestinya itu yang lebih banyak dikupas dan dibangun lebih kuat,” ungkap kader PAN ini. Sebab, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan eksekutif dan dewan. Misalnya, terkait pelaksanaan ke-giatan yang dibiayai dana keistime-waan (danais). Belum lagi kegiatan-kegiatan mendesak lainnya.
Inung juga mengingatkan, tidak ada otonomi di partai politik (par-pol). Keberadaan pengurus parpol di daerah lebih merupakan kepan-jangtangan pengurus di tingkat pusat. “Itu yang harus dipahami,” ucap politikus asal Kotagede itu.Lain halnya dengan pendapat pimpinan dewan lainnya Dhar-ma Setiawan. Wakil Ketua DPRD DIJ dari Fraksi Partai Gerindra ini justru mendukung isi pidato gubernur tersebut. “Kita harus lihat konteksnya,” ucapnya.
Menurut dia, bila pidato HB X itu dilihat dari konteks politik di Jakarta, betul. Sebaliknya, kalau DIJ jelas tidak tepat. Alasannya, munculnya dua kubu di Jakarta yakni Koalisi Merah Putih (KMP) v Koalisi Indonesia Hebat (KIH) merupakan imbas dari pilpres. “HB X itu sebagai gubernur bukan produk pilpres. Dengan melihat konteksnya, maka kubu permanen menjadi tidak relevan sebagaimana digagas (disam-paikan) HB X,” ingat Dharma.Diakui, sebagai gubernur, HB X merupakan hasil penetapan. Di mata Partai Gerindra, meski tak dipilih, bukan berarti pene-tapan tidak demokratis. “Pene-tapan itu demokratis karena dihasilkan oleh produk UU Ke-istimewaan DIJ yang disepa-kati DPR dan presiden,” tuturnya
Dengan pandangan itu, Dharma menyatakan partainya mendukung sikap gubernur sebagaimana ter-cermin melalui pidatonya tersebut.Di sisi lain, pembahasan tata tertib (tatib) DPRD DIJ sampai sekarang belum kelar. Berlarut-larutnya pembahasan tatib itu mengundang atensi Ketua Pre-sidium Koalisi Merah Putih (KMP) Provinsi DIJ Gandung Pardiman.”Prinsipnya kita mengedepan-kan demokrasi Pancasila. Tidak ada diktator mayoritas dan ti-rani minoritas,” ungkapnya.Ia meminta agar pansus tatib yang dibentuk dewan melakukan percepatan guna menuntaskan tugasnya. Penyelesaian tatib merupakan kebutuhan mende-sak. Setelah tatib disahkan, akan diikuti dengan pembentukan alat kelengkapan. (eri/kus/laz/jiong)