Pasar Beringharjo menyimpan banyak cerita. Selain pusat kegiatan ekonomi, di sana terkandung nilai-nilai sosial, komunikasi dan keguyuban.
Keunikan salah satu pasar tradisional tertua di Jogjakarta ini dikemas unik oleh para seniman Jogja Sabtu malam (12/4).
Ratusan orang memadati Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY) malam itu. Suasana semakin istimewa karena menjadi momen bagi para seniman pantomime yang akrab disebut mimers. Para mimers dari seluruh Jogjakarta ini berkumpul menjadi satu dalam Gelar Pantomime Jogja 2014.
Ini juga menjadi momen yuang sangat istimewa bagi para penonton. Maklum, ini pementasan yang sangat dinantikan kehadirannya. Antusiasme terlihat saat pintu dibuka. Ratusan penonton menyerbu, berebut kursi kursi merah Concert Hall. Dalam hitungan menit, barisan kursi merah ini tak menyisakan tempat. Alhasil penonton yang terlambat pun harus rela duduk lesehan hingga mendekati bibir panggung.
“Malam ini menjadi malamnya para mimers di Jogjakarta. Ada kelompok Malmime-Ja, Riza Mime Community, Bengkel Mime Theatre, dan Deaf Art Community. Semakin lengkap dengan adanya kolaborasi dari Yud’s Ballroom Dancesport, sekolah dnasa tertua di Jogjakarta,” kata Kepala TBY, Diah Tutuko Suryandaru.
Pementasan yang rutin digelar setiap tahun ini memiliki konsep yang istimewa. Jika di tahun sebelumnya setiap kelompok tampil dengan konsep tersendiri, maka tahun ini melebur. Meleburnya setiap kelompok ini membawakan fragmen utuh dengan latar belakang kehidupan di pasar Beringharjo.
Setiap kelompok dipasrahui untuk menampilkan sketsa kehidupan yang terjadi di pasar tradisional ini. Karena itulah, misi pementasan ini juga untuk mengangkat Beringharjo. Nama Beringharjo sendiri memiliki arti wilayah yang semula pohon beringin atau bering dan diharapkan dapat memberikan kesejahteraan atau harjo.
“Sehingga melalui pementasan ini kita ingin membuka bahwa pasar Beringharjo memiliki nilai lebih selain nilai transaksional ekonomi. Keguyuban, kesederhanaan, merakyat dan segala nilai ingin kita tonjolkan. Bahkan sisi buruk seperti copet sudah menjadi bagian cerita dari Beringharjo,” kata Diah.
Dalam pementasan kali ini menjadi tokoh center adalah Emak dan Thole yang hidup dari Beringharjo. Dua orang yang sangat bersahaja ini menjadi saksi bagaimana perubahan Beringharjo terjadi. Meski begitu perubahan ini tanpa disadari sehingga terasa mengalir secara halus.
Lapak yang menjual barang-barang sederhana bahkan bekas perlahan tergerus. Pelan tapi pasti para penjual kelas kecil ini menghilang dari atmosfir Beringharjo. Belum lagi pengusiran-pengusiran yang dilakukan oleh pihak tertentu terhadap kaum-kaum kecil ini.
Ini tergambar ketika Emak diusir oleh para pihak keamanan untuk menyingkir. Dalam segmen ini Emak sempat melawan dan membuat petugas keamanan mundur. Namun sejurus kemudian, Emak diangkut paksa dan dimasukan ke dalam penjara yang berukuran kecil.
“Semuanya perlahan jadi hilang dan tidak sesuai dengan filosofi nama Beringharjo. Dimana menaungi dan memberikan kesejahteraan, terkesan menjadi komoditas pihak tertentu. Ini kita gambarkan dalam segmen yang menampilkan para mimers mengenakan kostum tikus,” kata sutradara pementasan Deddy Ratmojo.
Di bagian segmen lain juga menggambarkan bagaimana bentuk budaya baru yang diwujudkan dalam barang dagangan masuk. Beberapa boneka manekin yang diperankan anak-anak memasuki panggung. Manekin-manekin ini mengenakan pakaian ala Eropa, lengkap dengan gaun dan juga jas lengkap.
Mendadak lampu terlihat temaram, gelembung-gelembung sabun pun turun dari atas panggung. Alunan musik yang mengiringi membuat barisan manekin ini menjadi hidup. Saat tempo musik semakin cepat, anak-anak manekin ini berdansa berpasangan. Alhasil tepuk tangan membahana keras ketika anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar ini dengan lincahnya berdansa.
Thole yang duduk di pinggir panggung hanya bisa memandang dan terpana. Sesekali tangannya meniru gerakan dansa para manekin ini. Keinginannya untuk bergabung dalam dansa seakan sirna karena latar belakang yang berbeda antara keduanya.
Dibuat seakan kontras, di mana manekin berdandan bagus dan Thole compang-camping. Ini mengisyaratkan pergerseran yang terjadi di pasar Beringharjo. Awalnya ramai oleh pedahang pakaian bekas, berganti dengan pakaian jadi yang harganya justru bersaing. “Di satu sisi ini mematikan sejumlah pedagang seperti Emak,” kata Deddy.
Segmen lain menampilkan Thole menjadi copet dan pencuri. Meski tidak mau melakoni profesi ini, Thole seakan terpaksa melakoni peran barunya ini. Adegan kejar-kejaran pun terlihat saat Thole kepergok sedang menjalankan aksinya. Diusir, dihina, bahkan ditolak menjadi teman baru bagi Thole
Pementasan yang menampilkan 80 seniman ini dikemas secara mewah ala sederhana. Meski tata panggung terlihat sederhana namun nilai yang ditampilkan begitu dalam. Bangunan bertingkat dua symbol dari pasar Beringharjo menjadi latar belakang pertunjukan ini.
Lapak-lapak pedagang menghiasi arena pementasan pantomime ini. Secara spesifik Deddy mengungkapkan pementasan tahun ini mengusung konsep yang lebih matang. Dimana format pementasan mengkolaborasikan antara pantomime, dance dan juga teater.
“Cerita yang diusung ini sangat pas dengan perkembangan saat ini,” tambahnya. Beringharjo hampir ditinggalkan karena banyak berdirinya mal-mal di Jogjakarta. Untuk komposisi sebanyak 40 persen merupakan pantomime dan teater dan sisanya 60 persen menampilkan dance.
Meski mengandung kritik sosial, Deddy cenderung mengemas pementasan ini secara entertain. Hiburan menjadi tonggak utama namun tetap mengusung kritik-kritik sosial. Tentunya kritik ini mengajak penonton untuk tertawa.
Tikus yang ditampilkan menurut Deddy pun merupakan simbol penguasa dan juga secara harafiah. Menggerogoti secara halus namun memiliki daya rusak yang besar dari dalam. Deddy bersama timnya mengajak penonton yang hadir untuk mengkritisi bahwa tikus di dewan dan pasar itu tidak jauh beda.
Misal ada penggusuran pedagang kadang tidak melalui prosuderal dan asal tebas. Padahal kehidupan dalam Beringharjo sekecil apapun tetap penting dan bermakna. “Untuk proses ini, kita membebaskan setiap kelompok menyusun cerita dari kenyataan tapi tetap dalam satu kesatuan pementasan,” kata Deddy.(*/din)
Lainnya
Terbaru

Orang Muda Ganjar Resmikan Gardu Pintar Jogjakarta

Grand Zuri Malioboro Tambahkan Ruang Meeting

Mbah Wahab, Cak Imin dan Meriam NU

Orang Muda Ganjar Resmikan Gardu Pintar Jogjakarta

Grand Zuri Malioboro Tambahkan Ruang Meeting

Mbah Wahab, Cak Imin dan Meriam NU

Perjalanan Produk Otomotif Emirate Car Interior

Fun Walk 5K, Momen BPR Berubah Jadi Bank Perekonomian Rakyat

SBE Kenalkan Benih M70D, Mampu Tingkatkan Indek Pertanaman 4 Kali Setahun

Strepsils Presents Sheila On 7 Live in Concert, Sakti Kejutkan Sheila Gank

Nge-Prank Polisi, AYN Mengaku Jadi Korban Klitih

Predator Seks Jogjakarta Ditangkap, 17 Anak Jadi Korban

Tawarkan Ragam Promo Akhir Bulan
