Jumat malam (5/8/2011) sebelumnya, penulis ziarah ke makam Sunan Kalijaga yang terletak di Desa Kadilangu. Jaraknya sekitar 2 kilometer dari Masjid Agung Demak yang kesohor itu.
Malam itu komplek makam Sunan Kalijaga sepi. Deretan kios tutup. Warga dekat kompleks makam melaksanakan salat tarawih di Masjid Kadilangu. ‘’Meski buka 24 jam tapi saat bulan puasa peziarah sepi,’’ kata Suparlan, juru kunci makam saat itu.
Dalam berdakwah menyebarkan ajaran agama Islam, Sunan Kalijaga berbeda dengan para wali lainnya. Beliau halus atau pelan-pelan dalam memasukan ajaran Islam ke dalam kebiasaan atau tradisi Jawa. Sunan Kalijaga dalam syiar Islam banyak menggunakan media lokal dalam mengajak warga, umumnya masih beragama Hindu masuk Islam.
Seperti melalui pegelaran wayang kulit, gending, tembang sebagai media dakwa Islam. Syiar lewat pendekatan budaya lokal itu akhirnya disetujui para wali lainnya.
Dalam literatur Kisah Walisongo karangan MB Rahimsyah disebutkan, Sunan Kaljaga juga mengusulkan agar adat istiadat orang Jawa seperti selamatan, bersaji tidak ditentang keras. Sebab, kalau ditentang keras mereka akan menjauh dari ulama. Tapi, adat istiadat itu diberi warna Islam.
Namun usulan itu ditentang Sunan Ampel yang khawatir adat istiadat itu nantinya dikira ajaran Islam dan bisa menjadi bid’ah.
Namun pendapat Sunan Kalijaga didukung Sunan Kudus. Alasannya, banyak ajaran agama Buddha dan Hindu mirip-mirip Islam, yakni kewajiban orang kaya menolong orang miskin.
Soal kekhawatiran Sunan Ampel yang khawatir adat istiadat orang Jawa nantinya dianggap ajaran Islam, Sunan Kudus berkeyakinan di belakang hari nanti ada yang akan menyempurnakannya. Karena perdebatan cukup sengit akhirnya diambil keputusan melalui suara terbanyak.
Akhirnya pendukung Kalijaga ada lima wali, sedangkan pendukung Sunan Ampel dua wali, yakni Sunan Giri dan Sunan Drajat. Keduanya, Sunan Drajat maupun Sunan Giri, adalah anaknya Sunan Ampel. Akhirnya Raden Rahmat atau Sunan Ampel mau menerima keputusan itu.
Seperti sosok Sunan Kalijaga, salah satu Wali Sanga yang begitu melegenda itu. Dari berbagai sumber menyebutkan, Sunan Kalijaga atau Raden Said adalah putra Adipati Tuban Tumenggung Wilatikta. Dalam menyebarkan Islam selalu mengenakan pakaian berwarna hitam dan blangkon khas Jawa. Ini menandakan keluasan serta kesederhanaan beliau.
Nama lain Sunan Kalijaga adalah Raden Mas Syahid atau Raden Said, Raden Abdurahman, Lokojoyo, dan Pangeran Tuban. Pada masa mudanya, Raden Mas Syahid giat menuntut ilmu agama Islam. Beliau pernah berguru kepada Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Ampel.
Said atau Sunan Kalijaga menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak. Yang mana Maulana Ishak memiliki dua orang anak yakni Dewi Saroh dan Sunan Giri. Setelah menikah Sunan Kalijaga di karuniai tiga putra yakni R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh, dan Dewi Sofiah.
Dalam riwayat lain tertera di isi buku Pustaka Darah Agung, Sunan Kalijaga pernah menikah dengan Dewi Sarokah, putri dari Sunan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang juga salah satu guru dari Sunan Kalijaga.
Setelah menikah dengan Dewi Sarokah, beliau dikaruniai lima anak, yakni Kanjeng Ratu Pembayun, Nyai Ageng Pahenggak, Sunan Hadi, Raden Abdurrahman, dan Nyai Ageng Ngerang.
Diriwayatkan asal-usul nama Sunan Kalijaga. Sebelum mendapatkan nama Sunan Kalijaga atau Gelar Walisanga, Raden Said sudah mengenal Islam sejak kecil, yakni melalui guru agama di Tuban.
Raden Said merupakan putra Adipati yang dekat dan peduli dengan rakyat jelata. Ini dibuktikan dengan masa muda beliau sering membela rakyat jelata di masa yang sulit.
Pada masa itu, terjadi musim kemarau panjang membuat para rakyat gagal panen. Tapi saat bersamaan, pemerintahan pusat membutuhkan dana besar untuk mengatasi pembangunan atau roda pemerintahan. Rakyat jelata yang terbebani karena dipaksa membayar pajak tinggi.
Melihat itu Raden Said yang dekat dengan rakyat jelata berusaha membantu rakyat. Tanpa pikir panjang Raden Said melakukan perbuatan tidak terpuji demi menolong rakyat jelata.
Beliau mencuri hasil bumi yang tersimpan di gudang penyimpanan istana ayahnya. Hasil bumi dari upeti rakyat jelata yang akan disetorkan ke pemerintahan pusat. Biasanya malam-malam Raden Said membaca Alquran di kamarnya. Lalu keluar melakukan aksinya mencuri beras lalu membagikan secara tersembunyi-tersembunyi tanpa sepengetahuan rakyat jelata sekalipun.
Seiring berjalannya waktu, penjaga gudang curiga barang yang akan disetorkan ke pemerintahan pusat terus berkurang. Melihat itu penjaga gudang semakin ketat dalam menjaga gudang. Penjaga gudang menyanggong dan memergoki aksi Raden Said sedang membobol beras di gudang. Akhirnya Raden Said ditangkap dan dibawa ke hadapan ayahnya.
Raden Said dimarahi habis-habisan dan beliau juga mendapatkan hukuman cambuk sebanyak 200 kali di tangannya karena mencuri. Selain itu, Raden Said juga disekap selama beberapa hari, tidak boleh keluar rumah.
Setelah lepas dari sekapan, Raden Said tidak merasakan jera atas hukuman yang menimpanya. Beliau memutuskan melakukan aksinya di luar istana, targetnya orang-orang kaya yang pelit. Hasil aksinya pun dibagikan lagi ke para rakyat jelata, karena melakukan aksi ini dengan niat untuk membantu rakyat jelata. Dalam aksinya di luar istana, Raden Said mengenakan pakaian serba hitam dan memakai topeng.
Hingga suatu saat ada perampok asli yang mengetahui aksi beliau, dan akhirnya beliau dijebak oleh si perampok asli. Di suatu malam, perampok tersebut melakukan perampokan sekaligus memperkosa wanita cantik dengan memakai pakaian yang sama seperti yang dipakai Raden Said saat melakukan aksi. Di saat Raden Said mau menolong wanita tersebut, perampok yang memperkosa itu berhasil kabur.
Dengan pakaian sama; serba hitam dan memakai topeng, Raden Said pun terjebak. Jadi tertuduh. Raden Said dikambinghitamkan warga yang saat itu sudah mengepungnya. Atas kejadian ini ayah Raden Said kecewa dan mengusirnya.
Setelah diusir, Raden Said tinggal di hutan Jatiwangi, namun beliau tetap melakukan aksinya menolong rakyat jelata. Namun dengan membuang nama aslinya, beliau memakai nama Brandal Lokajaya selama tinggal di hutan tersebut.
Suatu ketika lewatlah seorang berpakaian serba putih membawa tongkat yang gagangnya berkilau seperti emas. Beliau pun bermaksud melakukan aksi merampas tongkat tersebut. Namun kejadian itu membuat Raden Said tersentuh dan tersentak hatinya.
Ketika Raden Said merebut tongkat, orang berbaju putih tadi tersungkur jatuh. Sambil menangis orang itu bangun dengan susah payah. Sedangkan Raden Said mengamati tongkat ternyata tidak terbuat dari emas.
Heran melihat orang berbaju putih itu menangis, Raden Said pun mengembalikan tongkatnya. Namun orang itu berkata “Bukan tongkat itu yang aku tangisi” sambil menunjukkan rumput di telapak tangannya. “Perhatikanlah aku sudah berbuat dosa, melakukan perbuatan sia-sia. Rumput ini tercabut saat aku jatuh tadi.”
“Cuma beberapa helai rumput saja, kamu merasa berdosa?” tanya Raden Said heran.
“Ya , berdosa! Karena kamu mencabutnya tanpa sebuah kebutuhan. Jika untuk makanan ternak itu tidak apa. Namun ini kesiasiaan, sungguh dosa!” jawab orang itu.
Setelah mengetahui perbuatan Raden Said, orang itu mengumpamakan apa yang dilakukan Raden Said ibarat mencuci pakaian kotor menggunakan air kencing yang hanya menambah kotor dan bau pakaian tersebut. Raden Said pun tercekat mendengar pernyataan orang berbaju putih tersebut.
Raden Said semakin dibuat terpukau dengan keajaiban ditunjukkan orang tua mengubah sebuah pohon aren menjadi pohon emas. Karena penasaran dan kagum, Raden Said memanjat pohon aren itu. Namun ketika hendak mengambil buahnya, tiba-tiba pohon itu rontok mengenai kepalanya. Akhirnya beliau jatuh ke tanah dan pingsan.
Setelah bangun dari pingsan, Raden Said sadar orang berbaju putih itu bukan orang sembarangan. Timbul keinginan belajar kepadanya. Akhirnya dikejarnya orang berbaju putih itu, lalu Raden Said menyampaikan keinginannya berguru kepada orang berbaju putih itu.
Kemudian diberikan syarat yaitu Raden Said diperintahkan menjaga tongkat yang dibawa dan tidak boleh beranjak sebelum orang itu kembali menemuinya. Tiga tahun kemudian datanglah orang itu menemui Raden Said yang masih menjaga tongkat yang ditancapkan di pinggir kali (sungai).
Orang berbaju putih itu ternyata Sunan Bonang. Kemudian Raden Said diajak pergi ke Tuban untuk diberi pelajaran agama. Sebagian orang percaya bahwa dari kisah inilah nama Sunan Kalijaga diberikan kepada Raden Said. Karena kata Kalijaga terdiri dari “kali” berarti sungai dan “jaga” berarti menjaga. (laz/bersambung)