MIFTAHUDIN
Wartawan Radar Jogja Jawa Pos Grup
Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan, di Indonesia saat ini terdapat sekitar 57,9 juta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kontribusi mereka terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 58,92 persen. Yang paling mencolok adalah kontribusi dalam penyerapan tenaga kerja, yakni mencapai 97,30 persen.

Di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang notabene wilayahnya terbatas, jumlah UMKM-nya juga mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Yakni hingga 10 persen per tahun. Terhitung hingga akhir Desember 2015, dari data Dinas Koperasi dan UKM DIY tercatat 137.267 yang aktif. Dari jumlah tersebut, mayoritas bergerak di bidang pangan yang mencapai 30 persen.

Banyaknya UMKM yang bergerak di bidang pangan ini wajar. Sebab, pangsa pasarnya memang sangat besar dan akan terus berkembang. Selain produk-produk lokal yang terus berkembang, serbuan produk-produk makanan dari negara lain juga semakin gencar. Gerai-gerai makanan dan minuman, termasuk dalam bentuk franchise semakin massif dan tidak bisa dibendung lagi.

Menghadapi serbuan itu, dan dalam rangka meningkatkan daya saing menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), sektor UMKM mau tidak mau harus berbenah. Namun, pembenahan ini harus di bawah pengawasan pemerintah. Ini agar produk-produk UMKM bisa berkompetisi di pasar global. Dan salah satu kunci pembenahan itu adalah peningkatan kualitas produk.

Namun, untuk bisa memenuhi produk yang standar dan mampu bersaing, bukan perkara mudah bagi UMKM. Persoalan biaya, kapasitas, dan kualitas menjadi kendala yang kerap membelit mereka. Memang, berbagai pendampingan sudah mereka terima.

Pemerintah lewat dinas perdagangan dan koperasi, dari tingkat pusat sampai daerah sudah campur tangan dengan menggandeng berbagai pihak. Termasuk para konsultan UMKM. Bahkan dukungan swasta lewat program corporate social responsibility (CSR).

Bahkan, Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) juga turut andil memberikan pendampingan dan informasi khususnya prosedur perizinan pangan olahan dan pangan agar produk pangan yang diproduksi UMKM dapat diterima di pasar yang lebih luas. Serta kiat-kiat agar produknya dapat diterima di pasar modern dan siap menghadapi persaingan global.

Secara umum, materi pendampingan yang diterima menyangkut peningkatan daya saing produksi dengan menghidarkan campuran bahan berbahaya, jaminan kesehatan, pengurusan izin edar, serta pembuatan kemasan makanan yang baik. Yakni yang memenuhi standar good manufacturing practice (GMP).

Namun, tidak semua UMKM mampu menyerap dan memenuhi standar yang ditentukan ini. Sejumlah anggota Asosiasi Jasa Boga Indonesia (APJI) Sleman mengeluhkan ini. Pemilik Warung Ayam Ungkep Aseli Jogja Anik Rohmani misalnya. Dia menyadari, bahwa setiap produk obat dan makanan harus ada izin edar dari Balai POM. Tapi syarat untuk memperoleh izin ini, khususnya merek dagang (MD) sangat sulit dipenuhi oleh para pengusaha skala UMKM.

Maklum, mayoritas UMKM masih banyak menggunakan rumah tinggalnya sekaligus sebagai tempat porduksi. Sementara izin dari BPOM untuk MD mensyaratkan terpisah. Atau tidak menyatu dengan kegiatan rumah tangga.

Jadi biaya untuk merekonstruksi bangunan ini butuh biaya yang sangat besar. Belum lagi soal peryaratan lainnya. Misalnya harus melalui uji laboratorium dengan biaya belasan atau puluhan juta. Karena itu, sudah semestinnya prosedur-prosedur pengurusan ini disederhanakan.

Nah, sebenarnya selama ini ada izin PIRT (produk industri rumah tangga), dengan prosedur sangat sederhana. Dan jika itu dianggap kurang, semestinya izin Balai POM tentang MD bisa dibuat secara berjenjang.

Selama ini biaya sudah ada program subsidi dari pemerintah. Tapi aksesnya sangat terbatas. Dan semangatnya tidak memandirikan UMKM. Kalau prosedur dipermudah atau disederhanakan, akses UMKM untuk mendapatkan izin itu akan lebih terbuka. Dan otomatis dengan perolehan izin edar dari Balai POM, maka peredaran produk UMKM akan semakin luas.

Meskipun industri pangan berkembang pesat, belum semua pelaku UKM tersebut yang memiliki sertifikat MD dan ML dari BBPOM. Bahkan sertifikat halal dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).

Nah, pengurusan sertifikasi halal di Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menjadi keluhan tersendiri bagi UMKM. Ini terutama soal mahalnya biaya pengurusan selembar sertifikasi tersebut bisa mencapai Rp 3 juta.

MUI bahkan mengeluarkan edaran ketentuan biaya sertifikasi yang telah dipatok secarana nasional. Klarifikasi ke MUI menyebutkan, biaya- biaya tersebut digunakan untuk biaya administrasi, biaya listrik, tenaga, dan seagainya.

Memang ada sejumlah kelompok UMKM yang bisa menebus biaya pengurusan selembar sertifikasi halal itu, lantaran mendapat subsidi dari lembaga tertentu. Namun, bagi UMKM yang memiliki keterbatasan akses, baik akses informasi maupun biaya, kepemilikan sertifikat halal tentu akan menjadi impian saja.

Jadi, kepedulian terhadap sektor UMKM harus dilakukan secara menyeluruh. Dengan kepedulian ini, para pelaku UMKM pasti merasa diperhatikan eksistensinya. Dengan begitu harapan untuk bisa mengangkat sektor ini agar mampu bersaing di pasar global bisa terwujud. Semoga.

Bisnis