
AKSI DAMAI: Mahasiswa UGM melakukan aksi damai di Balairung (13/3). Dalam orasinya, para mahasiswa menolak adanya uang pangkal.(ELANG KHARISMA DEWANGGA/RADAR JOGJA)
RADAR JOGJA – Ratusan mahasiswa UGM menggelar aksi unjuk rasa menolak uang pangkal di Balairung kemarin (13/3). Massa menilai, kebijakan tersebut tidak relevan jika diterapkan di UGM yang dijuluki sebagai kampus kerakyatan. Sebab artinya, semua orang dapat menempuh pendidikan di kampus ini.
“Kami menolak wacana kebijakan uang pangkal yang disampaikan Rektor UGM saat audiensi 17 Januari 2023 lalu,” tegas Tim Advokasi Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) UGM Al Syifa Rachman.
Tanpa uang pangkal, kata Syifa, perekonomian UGM relatif baik. Hal itu pun telah dikaji oleh mahasiswa Fakultas Ekonomi Bisnis.
Jika melihat kondisi kampus lain, uang pangkal sifatnya wajib. Diberlakukan kepada seluruh mahasiswa melalui jalur mandiri. “Sementara nggak bisa menjamin bahwa mahasiswa jalur mandiri dalam keadaan kondisi ekonomi yang mampu. Kami ingin memperjuangkan hal ini,” lontarnya.
Sebulum adanya aksi, audiensi dengan rektorat telah dilakukan. Hanya saja mereka berdalih, UGM membutuhkan tambahan dana.
Meski uang pangkal tidak dilarang dalam undang-undang, Syifa menyebut, tambahan dana bisa dilakukan melalui hal lain. Terlebih saat ini, UGM telah berbadan hukum. “Melalui badan usahanya, bisa meningkatkan pendapatan. Misalnya dengan mengoptimalkan platfrom Sahabat UGM, hingga alumni memberikan donasi bagi UGM,” beber Syifa.
Menurutnya, hal ini jauh lebih baik bila harus menerapkan kebijakan uang pangkal dan pungutan lain di luar uang kuliah tunggal (UKT). Mengingat sebelumnya, pernah dilakukan uang sukarela, hingga pengembangan institusi. “Platform Sahabat UGM, sumbangan dapat disentralisasikan,” harapnya.
Rektor UGM Ova Emilia menuturkan, uang pangkal masih dalam wacana yang masih terus dikaji. Ova juga membenarkan bahwa benar UGM mendapatkan bantuan karena statsusnya sudah perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTNBH). Tetapi bantuan itu nilainya semakin kecil. Bantuan itu tidak mencukupi dan tidak mampu menutup UKT.
Dari informasi keuangan, bantuan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) mengalami defisit. Sehingga harus membedakan operasional uang kuliah dan uang lain. Terlebih UKT yang masuk ke UGM hanya sepertiganya. Sebab dari jumlah mahasiswa yang ada di UGM, yang membayar UKT maksimal hanya 10 persen. Dari jumlah itu, empat persen menunjukkan rerata penghasilan orang tua yang mencapai Rp 500 juta.
“Perlu digarisbawahi, penerapan uang pangkal ini bukan untuk semua, tapi bagi mahasiswa yang melalui jalur mandiri dan yang mampu. Kalau tidak mampu ya tidak,” katanya. (mel/eno)