RADAR JOGJA – Fenomena kekerasan jalanan atau klithih yang masih marak belakangan ini menjadi gambaran adanya ruang kosong dalam masyarakat. Terbaru, Polres Bantul menangkap 22 pelaku klithih, sebagian besar berstatus pelajar.

Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Haedar Nashir kaget karena aksi klithih masih jadi ancaman masyarakat di DIJ. “Loh, klithih masih ada,” lontarnya balik bertanya, saat diwawancarai Radar Jogja Selasa (30/11).

Namun, ketua umum PP Muhammadiyah ini tidak menyalahkan anak pelaku. Haedar justru menyasar pada tata sosial masyarakat. “Ini gambaran dari ruang kosong dalam masyarakat,” katanya.

Dikatakan, perilaku agresif dari anak pelaku tidak mungkin datang secara serta-merta. Melainkan turut tumbuh bersamaan dengan perkembangan anak. “Di mana anak-anak muda tidak terasuh dengan baik,” jelasnya.

Pendidikan dinilai sebagai salah satu cara efektif dalam menekan agresivitas anak. Melalui pendidikan proaktif, aktivitas anak dapat diarahkan pada hal positif. Namun, peran itu jelas bukan hanya tanggung jawab sekolah. Tapi juga masyarakat.

“Maka agar klithih tidak terjadi lagi, dunia pendidikan harus semakin proaktif. Masyarakat juga harus dapat jadi kekuatan kontrol sosial. Sekaligus menjadi tempat asuh bagi anak muda,” tuturnya.

Kasatreskrim Polres AKP Bantul Archye Nevada pun mengungkap, euforia pelonggaran pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) turut berdampak pada meningkatnya kekerasan jalanan. Sebab, pelonggaran masyarakat tidak dibarengi dengan kegiatan sekolah. “Kegiatan meningkat, aktivitas di sekolah minim. Jadi tidak terarah,” paparnya.

Sementara psikolog klinis Ida Nur Faizah menyebut, perilaku agresif anak terhadap kekerasan berkaitan dengan tahap perkembangan. Pada usia remaja, anak dalam fase pencarian jati diri. “Mereka suka eksplorasi. Dilihat dari emosi, regulasinya masih dalam tahap menggebu-gebu,” jelasnya.

Pada tingkat emosi itu, anak menyukai tantangan. Emosi juga masih labil, sehingga sangat membutuhkan rangkulan. Ortu memiliki peran penting dalam hal ini. “Biasanya alasan mereka melakukan kekerasan, justru salah satunya yang paling banyak dari keluarganya,” ungkapnya.

Dibeberkan pula, menurut penelitian, mayoritas anak yang melakukan tindak kekerasan bukan berasal dari keluarga kurang finansial. Umumnya keluarga mereka justru berkecukupan namun kurang perhatian. “Ortunya tidak aware, anaknya tidak butuh uang. Sedangkan dalam tanda kutip (ortu, Red) seperti membeli (kebahagiaan anak) dengan uang,” sesalnya.

Penjelasan Haedar dan Ida berkesuaian dengan catatan UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Bantul. Di mana terjadi 90 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang 2021. Catatan dihimpun berdasar laporan yang masuk ke Polres Bantul, RSUD Panembahan Senopati, dan P2TP2A Bantul atau Arum Dalu.

Data tersebut memuat informasi, lokasi kekerasan mayoritas terjadi di rumah. Ditemukan 25 kasus kekerasan terhadap anak yang dilakukan di rumah. Mirisnya, ortu jadi mayoritas pelaku kekerasan terhadap anak. Di mana 14 kasus kekerasan melibatkan orang tua sebagai pelaku.

Bentuk kekerasan yang paling banyak diterima oleh anak pun psikis. Kasusnya mencapai 22 catatan, disusul oleh pencabulan 21 kasus, pelecehan seksual 15 kasus, kekerasan fisik 15 kasus, pemerkosaan 15 kasus, dan penelantaran lima kasus. (fat/laz)

Bantul