
SAH: Heri Setiawan saat memasangkan cincin pada jari Pratina Ariyanti usai mengucapkan ijab kabul (3/7).( SITI FATIMAH/RADAR JOGJA )
RADAR JOGJA – Pandemi Covid-19 tidak melulu lantas mengurungkan niat menikah. Beberapa pasangan pengantin justru mensyukuri. Mereka merasa beruntung karena biaya pernikahan menjadi lebih murah.
FITI FATIMAH, BANTUL, Radar Jogja
Di antara pengantin yang merasakan biaya menikah murah saat pandemi ini dialami Pratina Ariyanti. Perempuan yang menikah 3 Juli lalu itu hanya menghabiskan dana Rp 3,5 juta.
Saat menggelar pernikahan dengan protokol Covid-19 itu biaya yang dikeluarkan mencakup konsumsi, dokumentasi, dekorasi, dan penyediaan protokol kesehatan. “Ini lebih murah kalau dibanding biaya nikah pada umumnya,” ujarnya saat ditemui di kediamannya, Tamanan, Banguntapan, Bantul, Minggu (13/9).
Tidak dipungkiri, jumlah undangan yang terbatas sangat berpengaruh. Karena anggaran paling mahal adalah konsumsi. Selain itu, Nana, sapaan akrab Pratina, bersyukur telah dibebaskan dari rasa tidak enak, karena tidak mengundang banyak orang.
Pembatasan jumlah tamu sesuai protokol Covid-19 tentu menguntungkannya. “Undangan maksimal 30 orang, itu menguntungkan,” sebutnya.
Kendati begitu, Nana agak direpotkan dengan pemenuhan protokol Covid-19. Seperti menyediakan thermogun dan hand sanitizer. Padahal ia tidak menggunakan jasa wedding organizer (WO). “Akhirnya aku pinjam dari masjid,” ujarnya, lantas tertawa.
Sama, Aris Wibowo juga merasa beruntung dapat menggelar pernikahan pada masa pandemi. Bahkan pemuda 34 tahun ini langsung memutuskan menikah dua minggu setelah taaruf. Namun ia mengundang 60 orang dalam pernikahannya. Dia dan pasangannya sepakat membagi undangan menjadi dua shift. Tiap shift terdiri 30 orang. “Dan kami menggelar pernikahan cuma dua jam,” katanya.
Tapi, keberuntungan tidak berpihak pada pemilik usaha WO, Sri Dewi Asliana. Sebab, perempuan yang kini masih lajang itu terjun ke usaha WO pada Februari lalu. Sementara pada Maret, DIJ menyatakan diri tanggap darurat Covid-19.
“Langsung kebanting parah, harga turun setengahnya,” ujarnya. Itu pun Dewi pun belum sempat mendapat pesanan. Kendati saat ini ada satu pesanan, dia ragu dapat melayani. Sebab pesanan untuk bulan Oktober itu belum pasti. “Kan masih liat kondisi,” keluhnya.
Selain menekuni WO, perempuan asli Sulawesi ini juga membuka jasa undangan. Sama, usahanya praktis mandek. Akibat pelanggan tidak ada yang memesan undangan dalam jumlah banyak. Sementara jika sedikit, pelanggan cenderung membatalkan pesanan, karena enggan membayar dengan harga yang lebih mahal. (laz)