
MAHASISWA PETANI: Rahmat Ariza Putra, 29, tengah merawat tanaman cabai di belakang halaman kampus satu UMBY. Dia pelopor mahasiswa petani dan komunitas organik UMBY. (SUKARNI MEGAWATI/RADAR JOGJA)
Nasib Indonesia sebagai salah satu negara agraris terbesar di dunia terancam. Tidak sedikit pemuda enggan terjun sebagai petani. Tak terkecuali mahasiswa pertanian sekalipun. Padahal, Indonesia merupakan “surganya” dunia pertanian. Berbagai tanaman dapat hidup subur. Keprihatinan inilah yang mendorong Rahmat Ariza Putra mencetuskan gagasan mahasiswa petani.
”Mahasiswa pertanian harus bisa menjadi petani. Biar Indonesia tidak kehilangan identitasnya sebagai negara agraris,” tegas Rahmat saat ditemui di sela kesibukkannya merawat kebun mini di lingkungan kampus UMBY, Rabu (4/7).
Mahasiswa semester akhir program pendidikan Agroteknologi UMBY mengungkapkan, menjadi petani tidaklah sulit. Begitu pula dengan media tanamnya. Tak perlu membutuhkan sawah luas. Berbagai barang bekas seperti botol minuman pun dapat dimanfaatkan.
”Lahan yang dibutuhkan juga tak perlu luas. Bisa memanfaatkan lahan-lahan kosong,” ucapnya.
Kendati begitu, Rahmat meyakini, cara sederhana itu dapat membentuk kemandirian pangan. Meski dalam skala rumah tangga. Cara sederhana itu pula yang dipraktikkan Rahmat bersama empat teman kampusnya. Lima mahasiswa yang tergabung dalam Komunitas Organik UMBY ini sukses menyulap lahan kosong di belakang Fakultas Agroindustri sebagai kebun mini. Kendati baru berjalan setahun terakhir, setidaknya komunitas ini dapat menghasilkan beberapa jenis sayuran. Mulai bayam merah, kangkung, cabai, selada, hingga bawang merah.
”Kemangi, seledri, dan sawi juga ada,” sebutnya.
Sengaja memilih sayuran? Mahasiswa kelahiran 29 tahun lalu ini menilai, sayuran lebih menjanjikan. Memiliki nilai ekonomi tinggi. Bayam merah, misalnya. Sayuran ini langsung ludes terjual ketika panen. Sebab, jarang petani yang menanamnya.
”Sayuran juga paling bagus sebagai media pembalajaran. Terutama, pertanian organik,” ungkapnya.
Seiring waktu berjalan, anggota komunitas organik ini terus meningkat. Hingga sekarang tercatat ada 23 mahasiswa yang tergabung. Kendati begitu, perjuangan membentuk komunitas ini bukan perkara gampang. Rahmat bersama empat temannya harus berjibaku membangun kebun mini di belakangan fakultas. ”Pernah saat puasa mengangkut polybeg bekas dengan gerobak,” kenangnya. (zam/mg1)